Ketika “Selalu Harus Bahagia” Jadi Beban
Kita sering mendengar nasihat seperti “jangan sedih terus,” “lihat sisi positifnya aja,” atau “yang sabar ya, semua akan baik-baik saja.”
Sekilas, kalimat ini terdengar menyemangati. Tapi ternyata, jika diulang terus tanpa memahami perasaan sebenarnya, bisa berubah menjadi toxic positivity – alias pola pikir positif yang terlalu ekstrem sampai mengabaikan realitas emosional.
Di era media sosial, fenomena ini makin sering kita temui. Semua orang tampak bahagia, sukses, dan produktif.
Akibatnya, banyak orang merasa terpaksa terlihat positif bahkan ketika mereka sedang tidak baik-baik saja.
Padahal, memaksa diri untuk “selalu bahagia” justru bisa menekan emosi negatif yang perlu diolah.
Jadi, apa sebenarnya toxic positivity itu, dan kenapa bisa berbahaya bagi kesehatan mental?
Apa Itu Toxic Positivity?
Secara sederhana, toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus selalu berpikir positif, terlepas dari situasi yang sedang dihadapi.
Artinya, semua emosi negatif seperti sedih, kecewa, marah, atau cemas dianggap sebagai hal yang “buruk” dan harus segera dihapus.
Menurut psikolog Dr. Konstantin Lukin yang dikutip dari Healthline, toxic positivity membuat seseorang menolak realitas emosinya sendiri.
Alih-alih menerima dan memproses perasaan, mereka justru menekan emosi itu dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Contoh sederhana:
- “Nggak usah sedih, orang lain lebih susah dari kamu.”
- “Kamu harus kuat, jangan nangis.”
- “Jangan mikir negatif, nanti malah ketarik hal-hal buruk.”
Kalimat seperti ini tampak menyemangati, tapi sebenarnya bisa mengabaikan validitas emosi seseorang.
Tanda-Tanda Kamu Terjebak dalam Toxic Positivity
Kadang kita nggak sadar sedang terjebak dalam pola ini. Berikut beberapa tanda umum toxic positivity yang perlu kamu waspadai:
1. Selalu Memaksa Diri untuk “Baik-Baik Saja”
Kamu menolak mengakui rasa sedih, kecewa, atau marah karena merasa emosi negatif itu “tidak pantas.”
Padahal, menekan emosi hanya membuat beban semakin berat.
2. Menghindari Topik Negatif Secara Berlebihan
Kamu mungkin sering menutup percakapan saat orang lain curhat hal sedih dengan alasan “nggak mau vibes-nya rusak.”
Padahal, mendengarkan dan berempati justru bagian penting dari hubungan manusia yang sehat.
3. Menyalahkan Diri Sendiri Saat Sedih
Setiap kali merasa down, kamu langsung merasa bersalah karena “harusnya aku bersyukur.”
Ini menimbulkan rasa tertekan dan bisa berujung ke stres kronis.
4. Membandingkan Diri dengan “Kebahagiaan Orang Lain” di Media Sosial
Melihat orang lain tampak bahagia bisa membuatmu menekan perasaan negatif sendiri.
Kamu berusaha meniru “positivitas palsu” agar terlihat kuat, meskipun di dalam hati sedang hancur.
Dampak Buruk Toxic Positivity pada Kesehatan Mental
Berpikir positif memang penting, tapi jika digunakan secara berlebihan dan tidak realistis, dampaknya bisa berbahaya.
1. Menekan Emosi dan Meningkatkan Stres
Ketika kamu menolak untuk merasa sedih atau marah, emosi itu tidak hilang – hanya tertunda.
Dalam jangka panjang, hal ini bisa menumpuk dan menyebabkan stres, insomnia, bahkan gangguan kecemasan.
2. Melemahkan Hubungan Sosial
Sikap “selalu positif” kadang membuat orang lain enggan jujur tentang perasaannya.
Mereka merasa kamu tidak bisa memahami atau menerima emosi negatif, sehingga hubungan menjadi dangkal dan tidak autentik.
3. Menghambat Proses Penyembuhan Emosional
Emosi negatif sebenarnya punya fungsi: membantu kita memahami situasi dan belajar darinya.
Jika kamu menolak merasa sedih, kamu juga menolak kesempatan untuk sembuh dan berkembang.
Cara Mengatasi Toxic Positivity dan Membangun Sikap Positif yang Sehat
Tenang, menjadi positif itu tetap baik – asalkan dilakukan dengan cara realistis dan penuh kesadaran.
Berikut beberapa langkah untuk keluar dari jebakan toxic positivity:
1. Izinkan Diri Merasa
Semua emosi itu valid. Tidak ada yang salah dengan menangis, kecewa, atau marah.
Biarkan dirimu merasakan sepenuhnya – karena dengan menerima, kamu justru bisa lebih cepat pulih.
2. Gunakan Kalimat yang Lebih Empatik
Alih-alih mengatakan “jangan sedih,” cobalah bilang:
“Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak sendirian.”
Atau,
“Boleh kok merasa kecewa. Aku di sini kalau kamu butuh cerita.”
Kalimat seperti ini tidak menolak emosi, tapi justru membantu orang lain memprosesnya dengan sehat.
3. Praktikkan Mindfulness
Mindfulness mengajarkan kita untuk hadir di saat ini dan menerima apa adanya – baik emosi positif maupun negatif.
Cobalah latihan sederhana seperti menarik napas dalam-dalam, menulis jurnal perasaan, atau melakukan meditasi beberapa menit setiap hari.
4. Bangun Lingkungan yang Seimbang
Pilih lingkungan yang mendukung, bukan yang menuntutmu untuk “selalu kuat.”
Teman atau komunitas yang sehat akan mengizinkanmu tertawa dan menangis tanpa menghakimi.
5. Gantikan “Berpikir Positif” dengan “Berpikir Realistis”
Positif itu baik, tapi realistis lebih penting. Kamu boleh optimis, tapi juga perlu mengakui kenyataan bahwa hidup tidak selalu sempurna.
Dengan begitu, kamu bisa tetap bersemangat tanpa membohongi diri sendiri.
Berpikir positif memang membantu menghadapi hidup, tapi jika dilakukan secara berlebihan, justru bisa membuatmu terjebak dalam toxic positivity – keadaan di mana kamu menolak emosi dan berpura-pura bahagia.
Belajarlah untuk menyeimbangkan antara optimisme dan kejujuran emosional.
Kamu tidak harus bahagia setiap saat – cukup menjadi manusia yang autentik, yang berani merasakan dan menerima segala bentuk emosi.
Karena kebahagiaan sejati tidak datang dari menolak kesedihan, tapi dari kemampuan untuk menghadapinya dengan jujur dan tetap melangkah.


